Bacaan "Basmalah" ("Bismillah") Didalam Solat

BACAAN “ BASMALAH” (“BISMILLAH” )DIDALAM SOLAT.
BACAAN SECARA PERLAHAN (SIRR)
Selepas bacaan Ta’awudz maka Rasulallah membaca lafaz “ Bismillah…”,Baginda tidak menguatkan bacaannya (mengeras,menyaring,[JAHR] bacaan).
Diriwayatkan dari hadis Anas bin Malik dari beberapa cara:-
1.Dari Syu’bah,dari Qatadah,dari Anas berkata:”Aku tidak pernah mendengar seorang pun dari mereka menguatkan bacaan “bismillah…”.
2. Diriwayatkan oleh Bohari ,Muslim, Ad Daru Qutni, As Siraj : “Tidak mendengar bacaan ‘Bismillah…’
3. Dari Mansur Bin Zadzan dari Anas,berkata:”Tidak mendengar bacaan ‘Bismillah…”
(Sifat Solat Nabi:Jld 1:MS343/344)
“Tidak mendengar itu” bermaksud “Bismillah” itu dibaca dengan perlahan (Sirr).
Membaca “Bismillah..” dengan perlahan (sirr) adalah pendapat majoriti ulamak, ada juga hadis yang mengatakan membaca dengan kuat (Keras, nyaring) tetapi hadis hadis tersebut tidak sahih,walaupun ada kalanya Rasullah menyaringkan bacaan “Bismillah..”kemudian Baginda meninggalkannya.
(Sifat Solat Nabi:Jld 1:MS358).
Walau bagaimanapun tidak mengapa mengeraskan (menyaringkan) bacaan seperti hadis Ibnu ‘Amdan hadis Anas terdahulu kerana bacaan tersebut bertujuan sebagai pelajaran kepada yang mengikuti solat.
(Sifat Solat Nabi:Jld 1:MS359).
BACAAN SECARA KUAT, NYARING,KERAS (JAHR).
Diriwayatkan oleh Abu Daud dan Tarmizi yang berasal dari Ibnu Abas yang mengatakan bahawa Rasulallah SAW memulai bacaan Al Fatihah dengan “Bismillah”.Dan diriwayatkan oleh Hakim Dalam Mustadrak dari ibnu Abas bahawa Rasulallah SAW menyaringkan “Bismillahir-Rahmaanir-Rahiim.Ditambah bahawa hadis ini Sahih.
(Samudra Al Fatihah:Bey Arifin:MS93)
Diriwayat dari Daruqutni dengan sanad yang sahih,bahawa Mu’awiyah solat di Madinah dengan tidak membaca “Bismillah”, apabila selesai solat orang orang Muhajirin (makmum) memprotes, selepas itu dia bersolat dengan membaca “Bismillah”.
(Musnad Al Imam As Syafie (1/80 dan Al Hakim (1/233).
Imam Syafie berpendapat bahawa “Bismillah” dibaca secara kuat,nyaring,keras (jahr) bersama Al Fatihah dan surah lain.Imam Syafie berdasarkan hadis dari An Nasa’I dalam kitabnya Sunan,Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hiban dalam kitabnya ,Shahih keduanya.
(Sohih Tafsir Ibn Katsir:Jld 1MS60)
TIDAK MEMBACA SAMA SEKALI.
Ramai dikalangan sahabat Nabi,Tabi’in dan ulamak ulamak salaf atau khalaf yang tidak menguatkan menyaring(mengeraskan) bacaan “Bismillah” atau tidak membaca “Bismillah” sama sekali.
(Samudra Al Fatihah:Bey Arifin:MS 94)
Menurut Imam Malik “Bismillah “tidak dibaca samaada secara perlahan (sirr) atau nyaring (keras, jahr) mereka berdalil dengan hadis dalam Sahih Muslim dari Aiysah RA,ia berkata:”Rasulallah SAW memulakan solatnya dengan takbir dan bacaan Al Fatihah”
(Ibnu Abi Hatim 1/12, Muslim no 498(240)
Menurut riwayat Muslim”Mereka tidak menyebutkan “Bismillah…..”pada awal dan tidak juga pada akhirnya.
(Muslim 1/299,no399/ Al Bohari no 734)
KESIMPULAN.
Dari hadis hadis yang tersebut diatas ,dapatlah di pastikan bahawa Rasulallah SAW dan sahabat sahabat Baginda dalam solat pernah membaca “Bismillah” dan pernah juga tidak membacanya,pernah membaca dengan nyaring (keras ,jahar) dan pernah juga membaca dengan perlahan(sirr).
(Samudra Al FAtihah: MS 97)
Demikianlah dasar pengambilan pendapat para imam mengenai masaalah ini.Pendapat mereka tidaklah jauh berbeza,kerana mereka semua sepakat mengatakan bahawa orang yang solat ,baik membaca “Bismillah” secara nyaring,keras(jahr) atau membaca secara perlahan(sirr) ,kedua duanya adalah sah.Segala pujian dan sanjungan hanya milik Allh SWT.
(Sohih Tafsir Ibnu Katsir:Jld 1:MS62)
*Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah
Firman Allah:
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”
Jar majrur (bi ismi) di awal ayat berkaitan dengan kata kerja yang tersembunyi setelahnya sesuai dengan jenis aktifitas yang sedang dikerjakan. Misalnya anda membaca basmalah ketika hendak makan, maka takdir kalimatnya adalah : “Dengan menyebut nama Allah aku makan”.
Kita katakan (dalam kaidah bahasa Arab) bahwa jar majrur harus memiliki kaitan dengan kata yang tersembunyi setelahnya, karena keduanya adalah ma’mul. Sedang setiap ma’mul harus memiliki ‘amil.
Ada dua fungsi mengapa kita letakkan kata kerja yang tersembunyi itu di belakang:
Pertama : Tabarruk (mengharap berkah) dengan mendahulukan asma Allah Azza wa Jalla.
Kedua : Pembatasan maksud, karena meletakkan ‘amil dibelakang berfungsi membatasi makna. Seolah engkau berkata : “Aku tidak makan dengan menyebut nama siapapun untuk mengharap berkah dengannya dan untuk meminta pertolongan darinya selain nama Allah Azza wa Jalla”.
Kata tersembunyi itu kita ambil dari kata kerja ‘amal (dalam istilah nahwu) itu pada asalnya adalah kata kerja. Ahli nahwu tentu sudah mengetahui masalah ini. Oleh karena itulah kata benda tidak bisa menjadi ‘ami’l kecuali apabila telah memenuhi syarat-syarat tertentu.
Lalu mengapa kita katakan : “Kata kerja setelahnya disesuaikan dengan jenis pekerjaan yang sedang dikerjakan”, karena lebih tepat kepada yang dimaksud. Oleh sebab itu, Rasulullah صلی الله عليه وسلم  bersabda:
وَمَنْ كَانَ لَمْ يَذْبَحْ فَلْيَذْبَحْ بِاسْمِ اللَّهِ- عَلَى اسْمِ اللَّهِ-
“Barangsiapa yang belum menyembelih, maka jika menyembelih hendaklah ia menyembelih dengan menyebut nama Allah“[1] Atau : “Hendaklah ia menyembelih atas nama Allah”[2]
Kata kerja, yakni ‘menyembelih’, disebutkan secara khusus disitu.
Lafzhul Jalalah (اللهِ).
Merupakan nama bagi Allah Rabbul Alamin, selain Allah tidak boleh diberi nama denganNya. Nama ‘Allah’ merupakan asal, adapun nama-nama Allah selainnya adalah tabi’ (cabang darinya).
Ar-Rahmaan  (الرَّحْمنِ)
Yakni yang memiliki kasih sayang yang maha luas. Oleh sebab itu, disebutkan dalam wazan fa’laan, yang menunjukkan keluasannya.
Ar-Rahiim(الرَّحِيمِ)
Yakni yang mencurahkan kasih sayang kepada hamba-hamba yang dikehendakiNya. Oleh sebab itu, disebutkan dalam wazan fa’iil, yang menunjukkan telah terlaksananya curahan kasih saying tersebut. Di sini ada dua penunjukan kasih sayang, yaitu kasih sayang merupakan sifat Allah, seperti yang terkandung dalam nama ‘Ar-Rahmaan’ dan kasih sayang yang merupakan perbuatan Allah, yakni mencurahkan kasih sayang kepada orang-orang yang disayangiNya, seperti yang terkandung dalam nama ‘Ar-Rahiim’. Jadi, Ar-Rahmaan dan Ar-Rahiiim adalah dua Asma’ Allah yang menunjukkan Dzat, sifat kasih sayang dan pengaruhnya, yaitu hikmah yang merupakan konsekuensi dari sifat ini.
Kasih sayang yang Allah tetapkan bagi diriNya bersifat hakiki berdasarkan dalil wahyu dan akal sehat. Adapun dalil wahyu, seperti yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tentang penetapan sifat Ar-Rahmah (kasih sayang) bagi Allah, dan itu banyak sekali. Adapun dalil akal sehat, seluruh nikmat yang kita terima dan musibah yang terhindar dari kita merupakan salah satu bukti curahan kasih sayang Allah kepada kita.
Sebagian orang mengingkari sifat kasih sayang Allah yang hakiki ini. Mereka mengartikan kasih sayang di sini dengan pemberian nikmat atau kehendak memberi nikmat atau kehendak memberi nikmat. Menurut akal mereka mustahil Allah memiliki sifat kasih sayang. Mereka berkata: “Alasannya, sifat kasih sayang menunjukkan adanya kecondongan, kelemahan, ketundukan dan kelunakan. Dan semua itu tidak layak bagi Allah”.
Bantahan terhadap mereka dari dua sisi:
Pertama : Kasih sayang itu tidak selalu disertai ketundukan, rasa iba dan kelemahan. Kita lihat raja-raja yang kuat, mereka memiliki kasih sayang tanpa disertai hal itu semua.
Kedua : Kalaupun hal-hal tersebut merupakan konsekuensi sifat kasih sayang, maka hanya berlaku pada sifat kasih sayang yang dimiliki makhluk. Adapun sifat kasih sayang yang dimiliki Al-Khaliq سبحانه و تعالى adalah yang sesuai dengan kemahaagungan, kemahabesaran dan kekuasanNya. Sifat yang tidak akan berkonsekuensi negative dan cela sama sekali.
Kemudian kita katakan kepada mereka : Sesungguhnya akal sehat telah menunjukkan adanya sifat kasih sayang yang hakiki bagi Allah سبحانه و تعالى. Pemandangan yang sering kita saksikan pada makhluk hidup, berupa kasih sayang di antara mereka, jelas menunjukkan adanya kasih sayang Allah. Karena kasih sayang merupakan sifat yang sempurna. Dan Allah lebih berhak memiliki sifat yang sempurna. Kemudian sering juga kita saksikan kasih sayang Allah secara khusus, misalnya turunnya hujan, berakhirnya masa paceklik dan lain sebagainya yang menunjukkan kasih sayang Allah سبحانه و تعالى.
Lucunya, orang-orang yang mengingkari sifat kasih sayang Allah yang hakiki dengan alasan tidak dapat diterima akal atau mustahil menurut akal, justru menetapkan sifat iradah (berkehendak) yang hakiki dengan argumentasi akal yang lebih samar daripada argumentasi akal dalam menetapkan sifat kasih sayang bagi Allah. Mereka berkata : “Keistimewaan yang diberikan kepada sebagian makhluk yang membedakannya dengan yang lain menurut akal menunjukkan sifat iradah”. Tidak syak lagi hal itu benar. Akan tetapi hal tersebut lebih samar disbanding dengan tanda-tanda adanya kasih sayang Allah. Karena hal tersebut hanya dapat diketahui oleh orang-orang yang pintar. Adapun tanda-tanda kasih sayang Allah dapat diketahui oleh semua orang, tidak terkecuali orang awam. Jika anda bertanya kepada seorang awam tentang hujan yang turun tadi malam : “Berkat siapakah turunnya hujan tadi malam ?” Ia pasti menjawab : “berkat karunia Allah dan rahmatNya”
MASALAH
Apakah basmalah termasuk ayat dalam surat Al-Fatihah ataukah bukan ?
Dalam masalah ini para ulama berbeda pendapat. Ada yang berpendapat bahwa basmalah termasuk ayat dalam surat Al-Fatihah, harus dibaca jahr (dikeraskan bacaannya) dalam shalat dan berpendapat tidak sah shalat tanpa membaca basmalah, sebab masih termasuk dalam surat Al-Fatihah.
Sebagian ulama lain berpendapat, basmalah tidak termasuk dalam surat Al-Fatihah. Namun ayat yang berdiri sendiri dalam Al-Qur’an.
Inilah pendapat yang benar. Pendapat ini berdasarkan nash dan rangkaian ayat dalam surat ini.
Adapun dasar di dalam nash, telah diriwayatkan dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah رضي الله عنه  bahwa Rasulullah صلی الله عليه وسلم  bersabda : Allah سبحانه و تعالى  berfirman:
قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي، فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ {الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ} قَالَ اللَّهُ تَعَالَى حَمِدَنِي عَبْدِي، وَإِذَا قَالَ {الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ} قَالَ اللَّهُ تَعَالَى أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي، وَإِذَا قَالَ {مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ} قَالَ مَجَّدَنِي عَبْدِي، فَإِذَا قَالَ {إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ} قَالَ هَذَا بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ، فَإِذَا قَالَ {اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ. صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ} قَالَ هَذَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ
“Aku membagi shalat (yakni surat Al-Fatihah) menjadi dua bagian, separuh untuk-Ku dan separuh untuk hamba-Ku. Apabila ia membaca: “Segala puji bagi Allah”. Maka Allah menjawab: “Hamba-Ku telah memuji-Ku”. Apabila ia membaca: “Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”. Maka Allah menjawab: “Hamba-Ku telah menyanjung-Ku”. Apabila ia membaca: “Penguasa hari pembalasan”. Maka Allah menjawab: “Hamba-Ku telah mengagungkan-Ku”. Apabila ia membaca: “Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan”. Maka Allah menjawab: “Ini separoh untuk-Ku dan separoh untuk hamba-Ku”. Apabila ia membaca: “Tunjukilah kami kepada jalan yang lurus. (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni’mat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat”. Maka Allah menjawab : “Ini untuk hamba-Ku, akan Aku kabulkan apa yang ia minta” [3]
Ini semacam penegasan bahwa basmalah bukan termasuk dalam surat Al-Fatihah. Dalam kitab Ash-Shahih diriwayatkan dari Anas bin Malik رضي الله عنه, ia berkata :
صَلَّيْتُ خَلْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ فَكَانُوا يَسْتَفْتِحُونَ بِ {الْحَمْد لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ} لَا يَذْكُرُونَ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ فِي أَوَّلِ قِرَاءَةٍ وَلَا فِي آخِرِهَا
“Aku pernah shalat di belakang Nabi صلی الله عليه وسلم, Abu Bakar, Umar dan Utsman رضي الله عنهم. Mereka semua membuka shalat dengan membaca: “Alhamdulillaahi Rabbil ‘Aalamin” dan tidak membaca: ‘Bismillaahirrahmaanirrahiim” di awal bacaan maupun di akhirnya. [4]
Maksudnya mereka tidak mengeraskan bacaannya. Membedakan antara basmalah dengan hamdalah dalam hal dikeraskan dan tidaknya menunjukkan bahwa basmalah tidak termasuk dalam surat Al-Fatihah.
[1]  HR. Bukhari dan Muslim
[2]  HR. Bukhari dan Muslim
[3]  HR. Muslim
[4]  HR. Muslim

Ulasan

Catatan popular daripada blog ini

Ayat Quran Berkaitan Kawan,Persahabatan Dan Persaudaraan

Seorang Yang Solat Pun Dicela Allah

ANCAMAN TERHADAP MEREKA YANG MENYAKITI MUSLIM